KOMNAS LKPI - Pada hakikatnya adakah keadilan dalam penegakan hukum pada perkara Konsumen Kredit Kendaraan melawan Lembaga Pembiayaan dan banyak perkara lain yang serupa?.
Penyidik, Penuntut Umum hingga Hakim tidak salah dalam menerapkan hukum. Secara yuridis perbuatan pesakitan yang ada telah terbukti memenuhi unsur-unsur pidana yang dituduhkan penuntut umum dan mereka pun menjalani persidangan sesuai dengan prosedur hukum acara. Namun masih ada suara yang berteriak meminta keadilan. Apakah para penegak hukum itu tidak menegakkan hukum yang berkeadilan?
Hukum memang ditegakkan, prosedur beracara memang dipatuhi, namun peradilan yang dijalankan adalah peradilan yang bersifat mekanis, dimana aparat hanya terpaku pada segala aturan yang tertera pada kitab-kitab hukum baik itu kitab-kitab yang mengatur hukum materiil maupun yang mengatur hukum formil.
Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim lebih cenderung menggunakan pendekatan legalistik dalam penanganan
perkara, pendekatan yang relatif paling menjamin kepastian hukum dan secara
administratif paling aman bagi para penegak hukum karena mereka mengikuti
standard operating procedure (SOP) hampir-hampir secara harafiah.
Hal ini
merupakan pilihan logis, karena bila pada suatu saat unit pengawasan internal
pada instansi-instansi tersebut melakukan eksaminasi terhadap pelaksana hukum,
para pelaksana hukum tersebut dapat berlindung di balik SOP.
Keadilan mekanis
berdasarkan penegakan hukum yang prosedural inilah yang kemudian berbenturan
dengan naluri keadilan publik. Disatu sisi sebagian masyarakat menyalahkan
lembaga peradilan karena seolah-olah hanya bertaring terhadap mereka yang lemah
namun disisi lain lembaga penegak hukum merasa tidak ada yang salah dengan
metode penegakan hukum mereka karena sudah sesuai dengan textbook.
Tulisan ini beranjak
dari hipotesis bahwa penegakan hukum melalui proses peradilan di Indonesia
belum memberikan keadilan sosial. Hukum ditegakkan namun seringkali
penegakannya dilakukan dengan cara-cara yang melawan hukum. Kalaupun hukum
ditegakkan namun yang ditegakkan adalah hukum yang kosong karena roh dari hukum
itu sendiri yaitu Keadilan tidak hadir disitu.
Tulisan ini dimulai
dengan menunjukkan adanya ikatan yang tidak terpisahkan antara hukum dan
keadilan, kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi dan menganalisis
masalah-masalah dalam penegakan hukum yang berdampak pada terhambatnya
keadilan. Masalah-masalah ini berasal baik dari dalam lembaga penegakan
hukum itu sendiri maupun dari luar yang secara signifikan menjadi pemicu
kehancuran hukum secara sistematis. Bagian terakhir tulisan ini mencoba
menyumbangkan alternatif dalam mereposisi penegak hukum dan lembaga penegak
hukum Indonesia untuk menghidupkan harapan kembalinya penegakan hukum yang
berkeadilan.
PERSPEKTIF TENTANG
KEADILAN DAN HUKUM
Keadilan merupakan roh dan esensi dari hukum. Melayani
keadilan adalah tujuan tertinggi dari penegakan hukum. Hukum tidak dapat
dikerdilkan menjadi hanya sekadar alat pengatur dan penjaga ketertiban
masyarakat. Hukum itu sendiri adalah pengejawantahan dari keadilan atau dengan
kata lain hukum adalah representasi nyata dari keadilan.
Walaupun keadilan dan hukum adalah unsur yang berbeda mereka adalah satu dan tidak terpisahkan. Untuk dapat berfungsi dengan baik salah satu unsur tersebut memerlukan unsur lainnya, sama seperti jiwa dan raga. Keadilan bila berdiri sendiri adalah hal yang abstrak, yang hanya ada pada tataran ide yang bersifat normatif. Hukum lah yang memberikan daging, rangka dan darah pada keadilan sehingga keadilan tidak hanya dirasakan atau diperdebatkan tetapi juga dapat dilaksanakan.
Menurut Lawrence
Friedman, seorang pakar hukum dari Amerika Serikat, masyarakat pada umumnya
merujuk “keadilan” sebagai suatu rasa tentang sesuatu yang benar yang
terkandung didalam nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.
Rasa keadilan itu
bersifat universal. Walaupun tidak ada satu definisi yang disepakati mengenai
apa itu “keadilan” namun tidak terdapat masyarakat dimana konsep keadilan sama
sekali tidak dikenal. Didalam konteks Bangsa Indoesia, rasa keadilan itu
adalah adalah sebagaimana tercantum dalam dua sila pada Pancasila. Keadilan
menurut nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia adalah keadilan yang beradab, yang
artinya adalah keadilan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Sesuai dengan karakternya, maka keadilan bagi Bangsa
Indonesia adalah keadilan yang berorientasi kepada keadilan sosial, yang artinya
rasa keadilan masyarakat seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi penegak
hukum dalam menjalankan tugasnya.
PENEGAKAN HUKUM YANG
MENGHAMBAT KEADILAN
Kalimat diatas seolah kontradiktif. Apakah mungkin
hukum yang ditegakkan malah menghambat keadilan? Bila memperhatikan
keadaan faktual penegakan hukum kita, maka tidak ada yang kontradiktif didalam
kalimat tersebut. Kasus-kasus yang menjadi pembuka tulisan ini secara ringkas
dan tepat menunjukkan bahwa hukum yang ditegakkan adalah hukum yang tanpa roh
karena keadilan tidak ada didalamnya. Masalah timbul ketika perasaan keadilan
ditekan untuk memberi jalan kepada ritual hukum.
Masalah kedua kedua
adalah ketika para penegak hukum bermain aman dengan berlindung dibalik kitab
undang-undang dan doktrin-doktrin akademis dan bukannya mengambil risiko
seperti menjadi Don Quixote yang berdiri melawan kincir angin demi sebuah
keyakinan akan yang haq dan yang bathil. Para penegak hukum memilih untuk
bermain aman dan tidak lagi menjadi pengambil risiko. Jaksa Agung Soeprapto
tahu apa akibatnya ketika ia menolak perintah Soekarno untuk tetap menahan
Schmitt, seorang tentara Belanda.
Soeprapto mengatakan bahwa secara hukum
Schmitt harus bebas dan menahannya tanpa dasar hukum adalah pelanggaran hak
asasi manusia. Ia sebenarnya bisa menemukan justifikasi hukum bagi perintah
sang presiden namun ia memilih menggunakan rasa keadilannya. Pada akhirnya ia
kehilangan jabatannya. Jaksa Agung Gatot Taruna Mihardja tetap memerintahkan
penyidikan atas penyelundupan mobil mewah dari Singapore melalui Pelabuhan
Tanjung Priok yang dilakukan oleh perwira-perwira militer. Dimasa tahun 50-an
secara de facto militer adalah penguasa. Atas perintah Jendral A.H. Nasution ia
ditangkap. Atas campur tangan Soekarno Gatot dilepaskan, namun ia harus kehilangan
jabatannya.
Dua contoh diatas menunjukkan karakter sedikit penegak hukum.
Mereka tidak bermain aman tetapi mengambil risiko. Mereka tidak memilih menjadi
penegak hukum yang baik namun menjadi penegak hukum yang benar.
Masalah ketiga adalah
ketika sistem peradilan terbelah menjadi dua. Dipermukaan para penegak hukum
menegakkan keadilan yang normatif. Mereka bertindak seperti dewi keadilan yang
menjalankan keadilan dengan mata tertutup. Pedang keadilan terhunus untuk siapa
saja, tanpa memandang status sosial, koneksi politik, latar belakang ekonomi
dan parameter-parameter lainnya. Namun mereka juga menciptakan dan memelihara
dunia keadilan yang lain, yaitu “keadilan dibawah tanah” (underground justice)
yang memiliki norma dan nilai-nilai sendiri.
Didalam salah satu episode dalam
cerita komik Superman, pengarangnya menceritakan bahwa ada satu dunia yang
persis sama dengan dunia yang didiami Superman, namun yang terjadi disana
adalah kebalikannya. Para penghuni dunia itu disebut bizarro. Dunia itu juga
memiliki Superman, namanya Superman Bizarro.
Cerita ini mirip dengan situasi peradilan kita.
Didalam prakteknya, justru keadilan bawah tanah yang lebih dominan. Dalam versi
keadilan bawah tanah ini peradilan telah berubah identitas menjadi pasar.
Inilah yang kemudian menimbulkan Pasar Gelap Keadilan (Black Market of
Justice). Sebagaimana pasar pada umumnya, di pasar ini ada penjual dan pembeli
serta ada komoditi yang diperjual belikan.
Para penegak hukum dan para
perantaranya berperan sebagai penjual, sementara mereka yang terjerat masalah
hukum dan juga perantaranya berperan sebagai pembelinya. Yang diperjual belikan
tidak lain adalah hukum itu sendiri. Transaksi yang terjadi tidak selalu
bersifat ekonomis, walaupun mayoritasnyamemang begitu. Transaksi juga bisa
merupakan media barter kepentingan. Penegak hukum memiliki kepentingan dengan
pelanggar hukum dan pelanggar hukum memiliki kepentingan agar ia dilepaskan
dari jerat hukum atau paling tidak mendapat keringanan yang seringan-ringannya.
Masalah keempat adalah
kemauan politik (political will). Hukum yang berkeadilan tidak dapat ditegakkan
tanpa adanya kemauan politik. Suka atau tidak suka hukum adalah produk politis,
dan penegakannya sedikit banyak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konstelasi
politik. Walaupun lembaga kehakiman dan advokat relatif lebih independen, tidak
demikian halnya dengan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian.
Pimpinan
Kejaksaan dan Kepolisian adalah pilihan politik dari presiden (political
appointee), sehingga sudah merupakan keniscayaan bila kepentingan-kepentingan
politis selalu mewarnai pemilihan kedua pimpinan lembaga tersebut. Hal ini
memperkuat posisi konstitusional Kejaksaan dan Kepolisian yang walaupun
menjalankan fungsi yudisial karena bagian dari sistem peradilan, namun secara struktural
berada dibawah komando eksekutif (presiden). Tekanan politik adalah salah satu
cara yang dipakai oleh mereka yang memiliki akses politik untuk merubah
jalannya suatu proses peradilan. Sehingga dalam banyak hal keadilan tergeser
oleh kepentingan.
Masalah kelima adalah
integritas para penegak hukum. Ketika pekerjaan bukan lagi menjadi kebanggaan,
ketika wewenang tidak lagi dipakai untuk mempertahankan jalan lurus, ketika
jabatan bukan lagi amanah dan tanggung jawab maka korban pertama dari penegakan
hukum adalah keadilan itu sendiri, dan yang merasakan akibatnya adalah mereka
yang secara hukum termarginalisasi dan mereka yang tidak mampu mempertahankan
diri mereka sendiri. Ketika semua tingkatan dalam proses penegakan hukum
bermutasi sifatnya menjadi transaksional, ketika itulah hukum kehilangan rohnya
– keadilan. Ideologi yang populer bagi penegak hukum adalah ideologi sukses.
Bagi para penasihat hukum, sukses berarti memenangkan mendapatkan klien yang
mendatangkan keuntungan. Bagi Jaksa, Polisi dan Hakim bagaimana caranya
mendapat keuntungan dari pekerjaannya, baik keuntungan finansial, keuntungan
politis, keuntungan sosial dan keuntungan-keuntungan lainnya. Penegak hukum
seperti Kapolri Hugeng atau Jaksa Agung Baharuddin Lopa atau Hakim Bismar Siregar
menjadi tokoh-tokoh yang langka. Mereka tidak menganut teologi sukses, karena
menegakkan keadilan tidak selalu berbanding lurus dengan sukses.
Masalah keenam adalah ego sektoral. Sistem peradilan
kita yang seharusnya berpola sistem peradilan terpadu (integrated justice
system) dalam kenyataannya dijalankan secara parsial. Masing-masing lembaga
masuk kedalam kotaknya masing-masing dan mengusung agendanya sendiri-sendiri.
Kita tidak berusaha melihat suatu peradilan didalam gambaran yang utuh.
Masing-masing lembaga memberikan perspektifnya sendiri-sendiri dan bertahan
terhadap perspektif tersebut adalah harga mati, karena dibalik perspektif tersebut ada
kepentingan yang harus dipertahankan.
MASIH ADAKAH HARAPAN?
Ada dua orang didalam
penjara sedang memandang keluar jeruji besi pada suatu malam yang terang
setelah badai selesai. Yang satu melihat lumpur dan yang lain melihat bintang.
Ada atau tidak ada harapan pada pembangunan hukum di Indonesia terletak dari
sudut pandang mana kita melihatnya. Bagi yang pesimistis, maka masa depan hukum
kita adalah suram dan dingin. Bagi yang optimistis masa depan hukum kita adalah
terang walaupun untuk mencapainya kita harus bekerja keras.
Harapan akan hukum
kita selalu ada. Pengadilan dan Peradilan dapat diperbaiki. Pertama, semua kita
harus JUJUR untuk mendiagnosis apa yang salah dengan sistem kita. Kedua, kita
harus bekerja bersama-sama untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah
diidentifikasi tadi. Ketiga harus ada dukungan penuh dan tulus kepada penegak hukum
dan penegakan hukum kita, baik itu dukungan politis, ekonomis, sosial dan semua
jenis dukungan. Keempat mekanisme rekruitmen, penjenjangan karier, penempatan
para penegak hukum harus dirombak total sehingga menciptakan penegak hukum yang
memiliki integritas dan bermartabat dan kebanggaan.
Masih ada
harapan, tapi kita harus bekerja keras, SEKARANG…!
Tags
Artikel