Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa nestapa tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan untuk ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.
Untuk dapat dilakukannya penegakkan hukum pidana, maka haruslah dapat dipetakan mengenai ruang berlaku hukum pidana tersebut. Secara teoritis mengenai ruang berlaku hukum pidana dibagi menjadi 2, yakni menurut waktu dan menurut dan tempat, walaupun ada juga pandangan sarjana yang memilah menjadi 3 bagian, yakni berdasar ruang, waktu dan tempat.
Namun demikian saya berpandangan pada pandangan pertama, dimana dimensi berlakunya hukum pidana menurut ruang bagi saya adalah memang harus ada, namun hal itu sangat melekat pada dimensi waktu dan tempat, jadi tidak berdiri sendiri. Untuk itu akan dijabarkan mengenai ruang berlaku hukum pidana melihat pada cara pandang yang pertama, yakni berdasarkan waktu dan tempat.
A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Mengenai ruang berlaku hukum pidana, erat kaitannya dengan asas legalitas, yakni nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas ini menyatakan tidak dapat dipidananya seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. Dalam hal orang (seiring adanya politik hukum di dalam UU ITE, orang adalah subjek hukum yakni berupa person atau subjek hukum lainnya- baca juga UU No 40 Tahun 2007 Tentang PT-) melakukan perbuatan (feit) melawan hukum sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana, atau kata lainnya subjek hukum tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya dimata hukum.
Contoh: seseorang yang melakukan Stalker atau kegiatan menguntit orang lain secara terus menerus dalam ranah hukum positif Indonesia tidaklah dapat dipidana, karena perbuatan Stalker tidak ada pengaturannya di dalam ranah hukum pidana Indonesia. Maka berdasarkan asas Legalitas maka para Stalker tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas perbuatannya di muka hukum.
Selain dalam Pasal Pasal 1 ayat (1) KUHP, mengenai ruang berlakunya hukum berdasarkan waktu juga dapat dijumpai pada amandemen ke-2 UUD 1945 yakni dalam:
- Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ketika suatu hak WN telah ditentukan di dalam suatu konstitusi suatu negara, maka bisa dipastikan bahwa hak tersebut adalah bentuk perlindungan negara dan wajib diterapkan dalam semua keadaan, dengan demikian ini mempunyai arti bahwa para pembuat undang-undang harus jeli melihat perkembangan hukum yang ada, karena hukum itu berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi dalam suatu perkumpulan sosial, dan jangan sampai suatu perbuatan tercela tidak diatur dalam hukum yang tertulis, demi mewujudkan cita-cita hukum, yakni menjamin ketertiban dalam suatu kelompok masyarakat tertentu; dan
- Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis ketentuan ini dalam Pasal 28 J ayat (2) ini memberi ruang lingkup negara untuk melindungi hak WN dari tuntutan hukum yang berlaku surut, yakni WN pun mempunyai batasan-batasan agar hak WN lain tidak terlanggar, ini merupakan cermin saling menghargai hak-hak antar person dalam bergaul ditengah masyarakat.
- Tiada pemidanaan tanpa adanya undang-undang yang mengaturnya/ Nulla poena sine lege.
- Tiada pemidanaan jika perbuatan pidana tidak ada (belum di kriminalisasikan) / Nulla Poena sine crimine.
- Tiada tindak pidana jika tidak ada undang-undang pidana yang lahir lebih dahulu dari perbuatan / Nullum crimen sine poena legali.
- Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang/ hukum formiil-nya (lihat kembali ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP).
- Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif, yakni memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa yang baru dapat ditambahkan.
- Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (asas retroaktif).
Jika di atas kita berbicara ruang berlaku hukum pidana menurut waktu yang inti sarinya adalah asas legalitas, maka disini kita erat membicarakan mengenai yurisdiksi hukum. Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempat terjadinya mengutamakan pada dimana letak Perbuatan itu dilakukan, maka untuk dapat mengetahui hal tersebut kita akan membicarakan mengenai berlakunya hukum positif, dimana mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat terkait dengan :
- Asas Territorial
artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing.
Hukum pidana berlaku terhadap perbuatan yang dilakukan di tempat-tempat tersebut dengan tidak melihat kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Asas ini terdapat dalam (KUHP) yaitu dalam:
- Pasal 2 KUHP yang bunyinya : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.
- Pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
- Pasal 2 dan Pasal 3 KUHP sangat jelas menyatakan tentang yurisdiksi berlakunya Hukum Pidana Indonesia, yakni diseluruh tempat di Indonesia termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing. Asas ini menitik beratkan pada tempat terjadinya perbuatan pidana yakni di Indonesia tanpa melihat siapa pelakunya, dalam arti pelaku WNI atau bukan tidaklah masalah selama perbuatan dilakukan di wilayah hukum Indonesia maka hukum pidana Indonesia berlaku pada dader.
- Asas Nasional Aktif
artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada. Asas nasional aktif dapat dilihat pada ketentuan Pasal 5 dan 6 KUHP yang menyatakan:
Pasal 5 KUHP:
- Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.
- Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”.
Ketentuan pasal 6 KUHP :
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.
Pasal 5 dan Pasal 6 ini erat kaitannya untuk penegakkan hukum lintas negara, dimana secara norma hukum Internasional para negara berdaulat wajib melakukan upaya penegakkan hukum lintas negara, namun demikian suatu tindak pidana haruslah memenuhi syaratnya untuk dapat dipidana, yakni adanya asas dual criminality yaitu sebagaimana ketentuan Pasal 5, yakni pandangan terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai perbuatan di negara lain adalah merupakan kejahatan juga menurut hukum Indonesia, hal ini penting sebagai upaya penegakkan hukum pidana dengan mekanisme grasi.
Sedangkan ketentuan Pasal 6 KUHP, terkait dengan hukuman mati, maka ada pembatasannya pula yakni hukum Indonesia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati apabila negara tempat WNI melakukan kejahatan tidak mengancam perbuatannya dengan hukuman mati, contoh: A seorang tentara perdamaian dari Indonesia melakukan pembunuhan terhadap B di negara C, negara C mengancam tindak pidana pembunuhan dengan ancaman maks 20 tahun penjara. Karena A melakukan perbuatan karena tugas, maka yang berhak melakukan pemidanaan adalah Indonesia, namun dalam penuntutannya di Indonesia, A tidak boleh dituntut dengan hukuman mati oleh jaksa Indonesia.
- Asas Nasional Pasif
Asas ini artinya adalah ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara Inonesia. Asas nasional pasif terdapat dalam Pasal 4 KUHP, dimana menyatakan Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976): Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131 :
Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu;
Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Ketentuan dalam Pasal 4 KUHP ini adalah bentuk penegakkan hukum untuk maksud melindungi kepentingan-kepentingan nasional dan internasional. Sehingga lazim pula asas nasional aktif ini disebut dengan asas perlindungan. Karena bentuknya adalah perlindungan nasional maka Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional berlaku bagi setiap orang (WNI dan WNA) yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia dengan kriteria kejahatan antara lain:
- Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1).
- Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2).
- Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3).
- Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
- Asas Universal
Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap tindak pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa tindak pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara mana pun. Jadi, yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional, Asas Universal melindungi kepentingan internasional karena didasari akan pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan penegakkan hukum Internasional.
Contoh: adalah ketika pembajakan terjadi di perairan Internasioanal lepas pantai Negara Somalia, ketika pelakunya WN Somalia dan melakukan kejahatan di Laut Internasional maka setiap negara dapat berperan dalam upaya penegakkan hukum atas tindak pidana perompakan yang dilakukan oleh WN Somalia tersebut, hal ini dilakukan karena perairan internasional dilepas pantai Somalia merupakan rute internasional, sehingga dipandang kepentingan internasional telah terancam dengan adanya pembajakan tersebut.
Namun demikian, tidak selamanya pelaku tindak pidana dapat dikenakan penuntutan atas dasar asas universal ini. Moeljatno berpandangan pada umumnya pengecualian yang diakui terhadap pemberlakukan asas ini meliputi :
- Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
- Duta besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial.
- Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya
- Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
Demikian sepenggal tulisan mengenai ruang lingkup berlakunya hukum pidana Indonesia, semoga dapat menjadi landasan berfikir dalam upaya penegakkan hukum pidana di Indonesia, terutama erat kaitannya dengan kejahatan lintas negara, dimana dalam penegakkan hukum pidana tidak dapat dilakukan oleh negara Indonesia sendiri, melainkan harus bekerja sama dengan negara lain terutama dalam kaitannya dengan proses penegakkan hukum melalui upaya Ekstradisi dan MLA (Mutual Legal Assintance).
Landasan teoritis ini berguna bagi para praktisi hukum untuk mengerti tentang ruang lingkup berlakunya hukum pidana sehingga upaya penegakkan hukum pidana dapat dilakukan dengan cara yang tepat, dan dapat menjadi bahan bacaan bagi khalayak ramai sebagai rujukan untuk kepentingan akademisi.(PHPG Dit.Pidana)
Tags
Hukum Pidana