Bicara
proses hukum, pasti tidak sedikit diantara kita yang beranggapan bahwa terkait
masalah hukum adalah hal yang melelahkan. Terlebih bagi kalangan masyarakat
awam, berurusan dengan penegak hukum/terkait masalah hukum merupakan momok yang
begitu mengerikan dan menguras tenaga, fikiran waktu, tak jarang pula menguras
uang. Mau tidak mau hal ini memang harus di akui oleh kita semua, bahwa mulai
dari tahapan Penyidikan, Penuntutan, Peradilan hingga Pemidanaan sangat
berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan yang merugikan orang atau badan hukum
sebagai subyek hukum.
Kenapa
demikian, ini tak lain disebabkan banyaknya celah hukum yang dapat setiap waktu dimanfaatkan
oleh oknum penegak hukum. Dan itu akibat tidak sempurnnya hukum formil yang
tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Alhasil penyidik
yang moral serta integritas pengabdiannya pada Negara lemah, cenderung mudah
untuk berperilaku subyektif bahkan sewenang-wenang dan akibatnya tujuan dan
cita-cita supremasi hukum menjadi bias dan mencederai RASA KEADILAN MASYARAKAT
pada semua tingkatan.
Salah
satu Contoh kasus, sebagaimana dirilis pada media lokal Banten, kamis 24 Maret
2011 yang pada lingkungan Polres Merto Tangerang, tidak menutup
kemungkinan pula terjadi pada wilayah hukum lain di Negeri ini. Diduga Lima
personil kepolisian terperiksa AKP BDW, Bripka SPN, Brigadir AP, Briptu HJ dan
Briptu PR yang pada sidang kode etik terungkap telah menerima suap Rp. 70 Juta
dari keluarga tersangka bernama Us dan empat tersangka lainnya dalam kasus
NARKOBA. Sebagai imbalannya para tersangka yang telah ditangkap sebelumnya
dilepaskan sebelum menjalani pemeriksaan dan penahanan 2x24 jam.
Memang setelah
menjalani tes urine mereka positif menggunakan sabu-sabu, namun secara prinsip
saat penangkapan, pada diri tersangka tidak terdapat alat bukti alias bukan
tertangkap tangan, melainkan polisi hanya menemukan bong (semacam alat
penghisap). Aneh bin ajaib, pada sidang kode etik, terperiksa mengaku uang
hasil suap itu justru dipergunakan sebagai biaya operasional internal
kepolisian dalam hal ini Satnarkoba Polres Metro Tangerang. ini Sungguh
memalukan dan menambah coreng-moreng wajah Kepolisian di negeri ini.
Itulah
contoh fenomena pucuk gunung es yang terlihat yang sebenarnya terjadi selama
ini, akibatnya kini terlalu bijak jika hal seperti ini masih kita sebut
perilaku oknum. Penulis tidak sependapat akan hal itu. Sebab ketika perbuatan
itu terjadi berulangkali dan terjadi pada hampir semua wilayah hukum kepolisian
NKRI, apakah masih pantas dikatakan itu perbuatan oknum ?!! Tentu tidak, dan
itu MUSTAHIL.
Secara jujur harus dikatakan ini sudah melembaga dan sangat
merusak tatanan. Bicara celah hukum diawal telah disinggung, pada KUHAP kita
memang terdapat beberapa pasal yang berhubungan pada tahapan
Penyidikan/Penuntutan yang mana menjadi tugas dua institusi POLRI dan
Kejaksanan. Yang mana didalamnya terdapat kerancuan bahkan cenderung
membingungkan dalam tafsirannya, dan penulis menduga bahwa disinilah para
penyidik berperilaku buruk itu bergerak dan senantiasa menjadikan HUKUM SEBAGAI
ALAT KEJAHATAN.
1.
Mengenai masalah penangkapan dalam Pasal 17 KUHAP.
Penangkapan dilakukan
terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup dimaksud
adalah untuk menduga berdasarkan pada pasal 1 butir 14, pasal ini
mengisyaratkan agar tidak terjadinya penangkapan yang bersifat sewenang-wenang,
tetapi hanya dituju pada yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Permasalahannya adalah sampai pada hari ini Undang-undang tidak memberikan
pengertian atau definisi jelas mengenai bentuk rupa serta batasan penafsiran
Bukti Permulaan dan Diduga Keras, kita ketahui rangkaian kata tersebut masih
suatu perkiraan yang bersifat interpretative atau ruang abstrak dari pemikiran
yang kapan saja dapat dipengaruhi oleh subyektifitas penyidik dalam keadaan
tertentu, akibatnya dapat merugikan orang yang didudukkan sebagai tersangka,
perilaku sewenang-wenang penyidik dapat menjelma lewat pasal ini.
Dengan
wewenang yang begitu luas diberikan Undang-undang maka sering kali kemudian
terjadi fenomena ASAL PANGGIL, ASAL TANGKAP, ASAL TAHAN, ASAL GLEDAH dan ASAL-ASALAN, demi
kepentingan tertentu diluar misi penegakan hukum. Meskipun sebaliknya pula
penyidik juga akan mendapatkan konsekwensi ketika Si Tersangka melakukan upaya
Praperadilan.
Tapi yang jelas tahapan abu-abu ini sering dipakai sebagai celah
bagi oknum Penyidik untuk sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan. Singkat
kata. Ini sudah jadi rahasia public “TANGKAP TERLEBIH DAHULU, SOAL TERBUKTI
ATAU TIDAK URUSAN BELAKANGAN. Sebagaimana contuh kasus diatas.
2.
Mengenai rangkaian kalimat yang tertuang pada pasal 114 KUHAP.
Rangkaian kalimat
yang termaktub pada pasal 114 KUHAP tidak memberikan penjelasan konkrit terhadap materinya sendiri, tafsirnya terbatas berpotensi terhadap adanya celah
kesimpulan yang cenderung keliru. Lebih lengkap sebagai berikut: Pasal 114 "Dalam hal seorang disangka melakukan suatu
tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, wajib
memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau
bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana
dimaksud pada pasal 56".
Dapat ditafsirkan bahwa dalam pasal ini, dalam rangka
menjujung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), maka sejak tahapan penyidikan kepada
tersangka sudah dijelaskan bahwa Si Tersangka berhak didampingi penasihat
hukum/advokat pada pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pada pasal itu, dapat ditafsirkan
seakan-akan, penyidik hanya berkewajiban menjelaskan bahwa tersangka berhak
didampingi penasihat hukum pada saat pemeriksaan Tahap Pengadilan saja. Seperti
tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk menjelaskan pula bahwa yang
bersangkutan atau tersangka pada pemeriksaan tahap penyidikan juga berhak untuk
didamping seorang penasihat hukum/advokat. Ini juga berpotensi terjadi
diskriminasi, sebab tersangka yang kurang mengerti akan haknya, maka sangat
dimungkinkan terjadi, pengabaian hak tersangka oleh karena posisi yang secara
psikologis tidak seimbang antara penyidik dan tersangka. Seharusnya pada
tahapan ini pun tersangka harus dijelaskan mengenai haknya. Penulis berpendapat
pasal ini kurang sinkron dengan uraian pasal itu sendiri, dengan demikian perlu
ditafsirkan secara sistematis terhadap pasal yang mengatur tentang Tersangka
dan terdakwa pasal 54,56,59,69,dan 71 KUHAP.
3.
Kurang jelas dan terdapat kejanggalan dalam memaknai Pasal 62 ayat 3 KUHAP.
Bahwa dalam KUHAP diatur mengenai hak seorang tersangka dalam hal komunikasi
lewat surat dengan penasihat hukum/advokatnya ataupun keluarganya pada saat
tersangka membutuhkannya. Pada prinsipnya hubungan surat menyurat tidak
diperiksa, namun yang kurang jelas dan terkesan janggal dalam hal ini adalah,
bahwa dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa ditilik atau sepadan dengan
kata diperiksa oleh penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pejabat Rutan, hal ini
diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa kemudian selanjutnya kurang dapat
dimengerti tentang surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah
dibubuhi cap yang berbunyi telah ditilik.
Coba kita teliti, bahwa apabila surat
tersebut telah ditilik atau diperiksa ternyata tidak ditemukan tanda-tanda
bahwa surat tersebut berhubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan pada
tersangka mengapa surat itu tidak diteruskan pada tersangka. Demikian pula
sebaliknya, bila surat itu ternyata ditemukan tanda penyalahgunaan kenapa
justru dikembalikan pada pengirimnya?
Mengapa KUHAP tidak serta merta
menentukan saja surat tersebut dapat disita sebagai alat bukti. Atau jika
memang kita ditafsirkan secara sistematis, berkaitan dengan pasal sebelumnya
pada ayat (2), pada kalimat jika terdapat cukup bukti bahwa surat
disalahgunakan, sebagaimana pada ayat (3), surat itu diperiksa ternyata benar
telah disalahgunakan, maka dapat juga ditafsirkan bahwa tersangka atau terdakwa
tidak perlu tau isi surat itu, maka demikian surat tersebut dikirimkan kembali
pada pengirimnya. Pasal ini menjadi multi tafsir, dan tidak seirama dengan asas
hukum yang kita ketahui Asas legalitas dan kepastian hukum.
Itulah beberapa kejanggalan dan
persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, pada era ini, dalam keadaan tertentu
menjadi dilema yang akan mengancam terjadinya pemerkosaan terhadap hak
masyarakat dalam menjalani tahapan proses hukum dinegeri ini. Namun semuanya
bergantung pada moralitas dan integritas serta pendalaman sekaligus penjiwaan
para penegak hukum akan fungsi PELINDUNG, PENGAYOM, PELAYAN MASYARAKAT.
Pertanyaannya sadarkah mereka akan hal itu?? HANYA DIA DAN TUHANNYA YANG TAU.
Tapi percayalah bahwa setiap apa yang dilakukan didunia akan dimintai
pertanggung jawaban kelak. Bahkan pemimpin yang membiarkan
peraturan/Undang-undang yang mengakibatkan terjadinya penindasan dan
kesewenang-wenangan pada rakyatnya/ummat pun takkan luput dari beban
pertanggungjawaban.(**)
Tags
Tips & Ilmu Hukum