KOMNAS LKPI - Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan adanya perkawinan, dua orang yang berlainan jenis diikat secara lahir, batin, dan hukum dalam suatu ikatan. Ikatan lahir terkait dengan hubungan biologis, ikatan badaniyah. Artinya, dalam suatu perkawinan, suami dan istri hanya dapat berhubungan badan di antara mereka berdua saja.
Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang datang dari hati seseorang, hati yang suci sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Suami dan istri bertekad membentuk mahligai rumah tangga, dalam keadaan suka maupun duka. Karena diatur secara agama, maka timbullah tanggung jawab moral berupa kejujuran, kesetiaan, ketulusan serta pengorbanan yang mutlak diperlukan dalam suatu perkawinan.
Sedangkan ikatan hukum adalah adanya suatu hak dan kewajiban yang secara hukum melekat kepada pria dengan wanita, berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Dikarenakan perkawinan itu mempunyai sifat ikatan lahir dan batin, maka perbuatan penghianatan dan dusta harus dihindari.
Didalam Pasal 83 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), dijelaskan juga kewajiban bagi seorang istri untuk berbakti lahir dan batin pada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Istri dapat dianggap nusyuz (durhaka) jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, kecuali dengan alasan yang sah.
Apabila pihak suami atau istri telah lalai dalam menjalankan kewajibannya, maka masing-masing pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Gugatan yang dimaksud adalah Gugatan Perceraian. Untuk melakukan Gugatan Perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Jika ada salah satu pihak yang berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan sendiri dapat menjadi salah satu alasan perceraian.
Mengenai pidana selingkuh, telah diatur secara khusus dalam KUHP adanya sanksi hukum pidana jika istri atau suami selingkuh dan melakukan perzinaan. Pasal 284 ayat (1) KUHP berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.
2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.
Mengenai pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "Zina adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya."
Namun untuk dapat dijerat dengan pidana selingkuh sebagaimana telah diatur dalam pasal ini, Pasangan yang selingkuh tersebut harus sudah bersetubuh atau berhubungan badan terlebih dahulu (telah terjadi penetrasi alat kelamin). Jika hanya berciuman, menggerayangi tubuh dan meremas Payudara, keduanya tidak dapat dijatuhi pidana selingkuh.
Tags
Keluarga