KOMNAS LKPI - Kasus perselingkuhan dalam rumah tangga sering kita dengar baik itu secara langsung maupun yang kita dengar dari berita, mulai kalangan bawah, artis bahkan hingga pejabat public pun tidak luput dari yang namanya kasus perselingkuhan ini, yang akhirnya berujung pada perceraian. Sebelum membahas pokok dari tema dari judul diatas, ada hal yang perlu diketahui mengenai harta bersama dalam sebuah perkawinan.
Harta Bersama Dalam Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) mengenal 3 jenis harta dalam sebuah perkawinan, yaitu:
- harta bawaan, yakni harta yang diperoleh suami-istri sebelum menikah;
- harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan; dan
- harta bersama, yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan.
Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Sehingga, suami dan istri masing-masimg memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta yang mereka bawa tersebut.
Sedangkan terhadap harta bersama, suami atau istri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya. Jadi, suami atau istri tidak dibenarkan melakukan tindakan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan pasangannya.
Hukum Jika Suami Membelikan Rumah Atau Properti Untuk Selingkuhannya Tanpa Izin Istri
Dalam kasus ini, kita asumsikan bahwa Sang Suami telah melakukan 2 perbuatan hukum, yakni transaksi jual-beli properti berupa 1 unit rumah berdasarkan perjanjian jual-beli dan hibah properti kepada perempuan yang menjadi selingkuhannya berdasarkan perjanjian hibah, yang mana properti tersebut dibeli menggunakan harta bersama.
Dikarenakan jual-beli properti dan hibah properti menggunakan harta bersama, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum terhadap harta bersama. Oleh karenanya, kedua perbuatan tersebut harus dilakukan atas persetujuan atau izin istri.
Lalu, apa konsekuensinya jika perbuatan hukum tersebut dilakukan tanpa izin atau persetujuan istri? Mengenai konsekuensi hukum dalam hal suami atau istri melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan pasangannya dapat dijumpai didalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2691 K/Pdt/1996 tanggal 18 September 1998, yakni:
"Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan suami istri, sehingga perjanjian lisan menjual tanah bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui istri adalah perjanjian yang tidak sah menurut hukum."
Lebih lanjut lagi, dalam yurisprudensi Mahkamah Agung lainnya diterangkan juga bahwa jual-beli tanah, yang merupakan bentuk perbuatan hukum terhadap harta bersama yang dilakukan tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum, sebagaimana tertuang dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/PDT/1997 tertanggal 24 Maret 1999, yakni:
“Jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak isteri atau suami, harta bersama berupa tanah yang dijual suami tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum.”
Jika merujuk pada kedua Yurisprudensi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perbuatan hukum terhadap harta bersama, termasuk berupa pembelian dan hibah properti dengan menggunakan harta bersama, yang dilakukan oleh suami tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum.
Selain dari pada itu, jika merujuk pada syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yakni:
- adanya kesepakatan untuk mengikatkan dirinya,
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
- suatu hal tertentu, dan
- suatu sebab yang halal.
Jadi jelas, dalam Pasal 2320 KUHPerdata ditegaskan bahwa suatu perjanjian dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat “suatu sebab yang halal”, yang berarti isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sehingga perjanjian jual-beli dan perjanjian hibah yang dibuat karena sebab yang terlarang tersebut tidak memenuhi syarat dan batal demi hukum.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan hukum tersebut batal demi hukum karena perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang. Dalam hal ini, suami dikatakan sebagai pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum karena perbuatan hukum tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari Sang Istri. Karena batal demi hukum, maka konsekuensi dari perjanjian jual-beli dan perjanjian hibah tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal dan keadaan kembali seperti semula.
Oleh karena itu, dari sisi Penjual Properti, untuk mengantisipasi permasalahan hukum semacam ini di kemudian hari sebagaimana telah diterangkan di atas, maka Pihak Penjual harus memastikan bahwa Pihak Pembeli yang telah menikah harus memenuhi persyaratan dokumen, yang di antaranya:
- Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami dan istri;
- Fotokopi Kartu Keluarga;
- Fotokopi Akta Nikah;
- Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh suami/istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan Akta Jual Beli (AJB).
Dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Namun apabila Pihak Penjual telah mempersyaratkan Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan AJB, dan suami yang bersangkutan telah melampirkan dokumen yang dipersyaratkan tersebut sehingga jual-beli properti dapat dilakukan tanpa sepengetahuan istri, maka patut diduga Sang Suami telah melakukan tindak pidana Pemalsuan Surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Untuk dapat dijerat Pasal 263 ayat (1) KUHP, R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) menjelaskan, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:
- Dapat menerbitkan hak, misalnya ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya;
- Dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya;
- Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya kwitansi atau surat semacam itu; atau
- Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi.
Dengan demikian, apabila suami telah memalsukan surat persetujuan istri untuk membeli dan menghibahkan properti, maka perbuatan Sang Suami telah memenuhi unsur tindak pidana pemalsuan surat dan dapat diproses secara hukum.
Tags
Keluarga